Puisi | Fatamorgana [Premium]
Fatamorgana
Dunia begitu indah di mata anak manusia yang haus akan kesenangan. Fatamorgana
dianggap kenyataan dan dianggap abadi. Terlena dengan dunia yang dianggap
seperti syurga Usia tiada yang tau kapan berakhir, dunia
memabukkan sehingga lupa ada kehidupan yang lebih abadi dan semua sedang
menunggu antrian. Embun tak lagi ada ditemukan lagi ada ketika pagi. Mengapa?
Karena Ia tau, meski ada hanya sesaat, mentari akan merenggut kehadirannya.
Lihatlah mentari tak memberi kesempatan embun untuk hadir meski hitungan detik.
Sinarnya sudah merenggut kehadiran setetes embun. Tangisan kerinduan nampak jelas di kelopak
mata, entah pada siapa harus bertanya atau tak perlu dipertanyakan karena semua
sudah tertulis di alam sana. Jalani dan terus menjalani.
Malam ketika purnama sempurna bulatnya, nampak
anggun dalam gelapnya malam dan terlihat seperti bidadari yang nampak
kecantikannya, semua mata terpesona menatapnya. Anggun dan menyejukkan. Alam terkadang memberikan pesan pada anak
manusia, seringkali anak manusia lalai dengan sebuah pesan, ketika mata hati
telah mati. Hanya segelintir anak manusia yang bisa memahaminya, sadarilah alam
sedang memberi peringatan, mulut ini terkunci untuk mengatakan rahasia alam
semesta. Untuk anak manusia yang sudah terbangun, bersiap dan waspadalah
dengan tipu daya dunia yang terlihat mempesona. Jangan tertipu dengan
ketampanan dan kecantikan makhluk yang akan membuat terlena Tetap berpegang teguh pada janji yang sudah
terpatri dengan bumi serta langit yang menjadi saksinya. Seperti janji Adam dan
Hawa pada sang Pencipta. Saat ujian kehidupan datang, rasa sabar dan
keikhlasan selalu menemani. Rasa sabar dan ikhlas tiada batasnya dan ilmu
paling tinggi karena tidak semua manusia bisa menjalaninya. Emas permata tak lagi menyilaukan, ketika anak
manusia menyadari, kematian tak perlu
membawa perhiasan dunia, tidak akan meringankan jika kita dipanggil sang
Pencipta. Memandang purnama yang sama lebih berharga,
jika kedatangan masih terasa mahal harganya, tak mengapa, menerima sebuah
keputusan. Bibir ini selalu ingin berteriak, tetapi harus
diam, menahan ribuan asa dalam jiwa, bergetar menyebut nama yang telah Tuhan
ciptakan. Ikhlas tak perlu diucapkan agar semua tau apa
yang sedang dijalani, cukup Tuhan yang mengetahui apa yang tersimpan didalam
hati. Dalam diam untaian doa selalu ada. Langkah kaki ini terasa pelan, tak mengapa.
Sepasang kaki ini tau kemana harus melangkah. Cahaya itu masih ada dan rembulan
masih sempurna bulatnya. Amanah masih dipegang erat meski tak tertulis
di atas batu. Hanya Tuhan dan alam semesta yang mengetahuinya. Nasehat demi nasehat masih terdengar dari
bibir bermakna. Nasehat yang selalu membangunkan ketika mata ini terpejam. Tak
ingin tertidur kembali seperti anak manusia lainnya meski
terlihat terbangun padahal tidak. Badut-badut jalanan mempertontonkan kebahagiaan,
semua yang melihat tertawa, tak ada yang tau ada tangisan di balik topeng itu.
Para penonton tidak mau tau mereka hanya ingin terhibur dan tertawa. Euforia dunia tidak lagi menyilaukan, tangisan
alam sering terdengar ketika menyaksikan anak manusia yang tidak ada rasa puas,
menari erotis di atas bumi. Usia bumi sudah menua dan muak melihat tingkah
polah anak manusia, Tuhan selalu berkata "belum saatnya." Lantas apakah semua lupa diri? Tidak! Masih ada anak manusia yang terbangun meski setetes di atas lautan,
mereka yang dapat menyeimbangkan dan membuat bumi tersenyum kembali. Alam menunggu perintah-Nya, hanya menunggu
waktu, anak manusia lupa diri, dunia dirasakannya abadi dan dirasa nyawa abadi
dalam tubuhnya. Makhluk Tuhan lupa dengan kalimat "Kun fayakun." Semua gemerlap dunia tiada artinya ketika
kematian datang, hanya doa yang akan menolong anak manusia, bukan harta benda
yang selalu dipuja-puja. Senyuman tulus salah satu ibadah yang membuat
semua tersenyum dan damai, terlihat mudah, tapi terasa sulit bila hati sedang
tidak baik-baik saja. Ejekan tak membuat kerdil, tetap berdiri kokoh
pada keputusan, tak perlu ciut berbalik arah, perjalanan mendekati titik akhir. Malam semakin larut ketika jemari menarikan
tariannya, bukan untuk semua tau dan dipuja, tidak!. Menyampaikan pesan dari
salah satu ciptaan-Nya, selalu menemani dalam perjalanan ini. Bukan mencari sensasi ketika berjalan di jalan
sunyi, membersihkan jiwa agar tidak berkerak. Inilah kehidupan yang harus dijalani, melangkah
meski tertatih, cahaya semakin dekat sebagai tanda akhir perjalan sepasang anak
manusia. Senyuman terlihat dari anak manusia yang menyadari kehadirannya. Langkah kaki semakin kokoh ketika bara api
tidak lagi menyala, bara yang akan menghanguskan kepercayaan. Kicauan
burung semakin redup dan menghilang
terbawa angin. Adalah keniscayaan perjalanan ini, meski
kerikil membuat kaki terluka, tak mengapa demi menuntaskan janji yang sudah
terpatri diikat alam semesta. Nada-nada kerinduan selalu terdengar seperti
suara angin perlahan masuk menyampaikan satu pesan. Hati yang berkata dan
saling bercakap meski mulut terlihat diam Bola api yang dilemparkan tidak dapat membakar
ikatan yang terikat kokoh bersimpul mati. Sangat disayangkan berbalik arah pada
sang pelempar. Berhati-hatilah buhul-buhul lenyap terbawa angin, atas izin-Nya. Elang dengan mata tajam memangsa hewan yang dianggap menggangu, tikus berlari
terbirit-birit bersembunyi penuh ketakutan ketika meledek elang di angkasa.
Tikus selalu menggigit alas kaki agar perjalanan ini terhenti. Lidah ini ditahan agar tidak menari mengeluarkan
nyanyian yang membuat jantung yang mendengar terhenti. Menjaga mengeluarkan
kata yang tidak perlu. Kata yang sudah
keluar tidak bisa ditarik kembali. Aksara bermakna terpatri di atas batu, anak
manusia akan melihat kisah perjalanan diabadikan dalam prasasti. Perjalanan
panjang peluh liku, penuh tangisan, amarah berakhir senyuman. Saat ini hanya satu permintaan selalu terucap
dalam helaan napas dan satu ciptaan Tuhan yang tau itu. Adsn1919