Angelina Sang Pengacara - Bagian Tiga
Angelina Sang Pengacara - Bagian Tiga
Nana menangis mendengar tuturan wanita cantik di depannya, Ia dapat merasakan apa yang dituturkan oleh wanita itu.
Nana terdiam dan hanya bisa mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa ditahan lagi.
"Sabar ya mba Susan, saya akan bantu mba, apapun yang terjadi," hanya kalimat itu yang terucap dari bibirnya.
'Apapun yang terjadi' kata itu meluncur tanpa bisa ditahan, Nana merasa yang Ia hadapi akan terasa berat, Ia akan berhadapan dengan atasannya sendiri, yang secara terang-terangan sudah melarangnya untuk membantu Susan.
*
Sesampainya di rumah, Nana langsung mengeluarkan laptop kesayangannya, laptop yang sudah usang, tapi begitu banyak kenangan disana. Laptop pemberian suaminya sebelum dia pergi tugas dan tak berkabar sampai sekarang.
Nana hanya bisa berdoa semoga suaminya selalu dalam lindungan sang pencipta. Beberapa kali Nana coba menghubungi nomor handphone suaminya, tapi tak pernah tersambung, ratusan pesan yang ia kirim pun tak ada satupun dibacanya.
Suami Nana seorang dokter yang ditempatkan di pelosok Indonesia, daerah yang sering terjadinya konflik. Sudah dua tahun suaminya tak ada kabar berita. Nana bukannya tidak mau ikut, saat suaminya bertugas di sana, Ia sedang hamil muda dan sangat rentan untuk perjalanan jauh. Delapan jam naik pesawat, setelah itu empat jam naik perahu dan dua jam naik helikopter. Bisa dibayangkan perjalanan yang ditempuh suaminya.
Keluarganya sudah menghubungi tempat tugas suaminya di Bandung, tetapi mengalami hal yang sama dengan dirinya, mereka tidak ada kabar juga. Memang sebelum suaminya menghilang, keadaan disana sedang tidak kondusif, pembantaian terjadi di mana-mana. Sampai keluarga besar dari pihak suaminya dan pihak Nana sendiri sudah mengikhlaskan kang Darius, suaminya. Hanya Nana yang percaya suaminya masih hidup, dan hingga kini Ia tutup hatinya untuk pria lain.
Nana termasuk wanita yang ayu, banyak pria yang berusaha mendekatinya, tapi Nana tetap pada pendiriannya, suaminya masih hidup. Nana mengecup lembut cincin kawin yang menghiasi jari manis sebelah kanannya.
Nana mengusap foto pernikahan yang ada di laptopnya, senyum pengantin yang sangat berbahagia, menikmati kebersamaan hanya enam bulan, setelah itu suaminya mendapat tugas membantu tim kesehatan di pelosok Indonesia, tahun pertama komunikasi lancar, mengabarkan perkembangan kehamilan Nana. Sampai Nana melahirkan tanpa didampingi suaminya.
Sayangnya bayi berjenis kelamin laki-laki itu hanya beberapa jam menghirup udara, ya bayinya meninggal dunia karena asfiksia. Nana mengalami musibah terberat dalam hidupnya tanpa didampingi suami, karena suaminya sudah tidak bisa dihubungi. Hampir setahun Nana mengurung diri di kamar, beruntung mertua dan ibunya sangat mendukung dan selalu mendampinginya disaat cobaan terberat datang menimpanya.
Anaknya meninggal dan disaat yang bersamaan, bak ditelan bumi suaminya hilang tanpa kabar berita.
Tanpa dukungan orang-orang tercinta, tak mungkin Nana bisa kuat dan bertahan hingga saat ini.
Tangisan Nana semakin deras, mengingat orang-orang yang dicintainya. Ia sangat merindukan suaminya dan tetap yakin suaminya masih hidup.
Di luar jendela, terdengar suara air hujan yang turun dengan derasnya, alam seakan mampu merasakan kesedihan Nana.
Nana tertidur dengan laptop yang masih menyala dihadapannya. Hanya kerja dan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya, Nana sedikit bisa melupakan beban hidupnya.
Tanpa Nana sadari, ibunya duduk di pinggir kasur, mengusap rambut Nana, menyelimuti dan membereskan laptop Nana.
Secara perlahan air mata wanita tua itu jatuh di pipi keriputnya, merasakan beban dan kerinduan yang tengah ditanggung oleh putrinya.
Bersambung
ADSN1919