HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Kata Bersayap

Imajinasi Tanpa Batas

Kata Bersayap

Bab demi bab secara perlahan terisi, kertas putih tergores kisah indah anak manusia, berbagai kisah tertuang di sana. Bercerita tentang keindahan pelangi, tentang awan yang terkadang berwarna kelabu, hembusan angin beserta aneka bunga tertuang dalam ribuan lipatan kertas, tak ada yang disembunyikan. Kehangatan sinar mentari pun digores dengan kata bersayap.


Untaian kata mengalir bagai air sungai. Kita pernah merasakan dinginnya air itu, gemercik suaranya masih terdengar sampai saat ini. Air sungai itu bening, mengalir tanpa batas, seperti goresan pena yang kita ciptakan. Meski ujung pena itu harus ditumpulkan, tak mengapa.


Nyanyian merdu sering terdengar, bersamaan dengan kokoknya ayam jantan berbulu putih. Kita hanya tersenyum menikmati nyanyian pagi. Menikmati kopi susu yang terhidang di meja mungil berenda merah marun. Sepasang mata polos selalu mengikuti setiap gerak gerik yang kita lakukan. 


Demi tercipta sebuah bait, kata demi kata terbang bebas di udara, menyambut kata yang pas untuk disandingkan. Kata-kata liar sering melesat enggan tertangkap. Terkadang kita biarkan mereka berlarian menuju langit. 


Ambillah  secangkir kopi susu panas,  cangkir utuh tanpa cela, biar tidak melukai mulut ketika menikmati kopi susu itu. Nikmatilah  secara perlahan, kita akan merasakan rasa manis sedikit pahit untuk mengingatkan kita, bahwa kehidupan tidak selamanya berjalan mulus.


Sederet kata terangkai indah, menghiasi senja. Angin mengiringi mentari yang beranjak keperaduan, menyambut rembulan untuk menerangi bumi, biar makhluk hidup tidak tersesat dalam kegelapan. 


Ayo, kita goreskan pena dengan ujung pena ditumpulkan sedikit, kita gores untuk mengisi bab yang masih kosong, perjalanan yang belum tertulis diiringi lagu-lagu sendu menghiasi perjalanan ini. Satu kata yang tak boleh tertulis biar menjadi rahasia hati 


Ya, kita tau tidak semua memahami goresan demi goresan yang tertoreh dalam selembar kertas merah jambu, kata-kata yang tersembunyi dalam sayap memiliki banyak makna, banyak arti dalam satu kata, tergantung pemetiknya apakah terasa asin, hambar atau pedas, tergantung selera penikmatnya.


Air selalu mengalir dari hulu ke hilir, meski berusaha dibendung air itu  akan meluap. Biarlah air itu mengalir sebagaimana mestinya, bukankah para petani selalu menanti aliran air itu untuk membasahi sawah mereka? Semua yang ada di bumi ada manfaatnya. 


Noktah yang sengaja diteteskan pada selembar kain putih telah merusak keindahannya, meski dicuci berkali-kali  tak akan hilang, bagai kata-kata yang keluar tidak pada tempatnya, seperti ujung belati menggores kalbu.


Genggaman erat tangan ini tak akan pernah terlepas, bagai tali bersimpul mati, semakin ditarik semakin erat, marilah melangkah bersama tak perlu risau apalagi takut, nahkoda kapal tidak akan mengurangi penumpang, lihatlah didepan mata ombak bergulung-gulung, ingatlah laut ini sangat luas jangan terlalu sibuk melihat isi kapal, membenahi yang tak perlu dibenahi, buka mata lebar-lebar lihatlah di luar sana. Tak perlu mengkaramkan kapal hanya untuk menyelamatkan diri.


Pasrahkan diri pada Pemilik Makhluk, tak perlu risau pada penilaian manusia, yakinlah tiada manusia yang sempurna. Terkadang manusia lupa dengan kekurangan diri, tidak aneh kekurangan orang lain terlihat begitu  jelas meski itu hanya setitik tinta hitam pada lembaran kertas putih. 


Apakah langkah akan terhenti karena sebuah cacian? Tidak! Kaki ini akan tetap melangkah, pena ini akan tergores indah, menggoreskan pernak pernik kehidupan. 





Pujian berlebihan itu lebih menakutkan daripada sekedar cacian. Pujian bagai racun, karena akan melenakan, melupakan diri yang sejati, terlena pesta dunia. Tidak, tak perlu ribuan pujian terlontar, tetapi menikam.


Abadikan keberadaan lewat goresan tinta emas, untuk menunjukkan pada dunia sebuah lakon perjalanan yang sebagian kecil sanggup menjalaninya, ceritakan pada dunia cahaya itu selalu ada. Undakan demi undakan terlewati sudah, saatnya angin terasa bertiup kencang, eratkan genggaman.


Huruf demi huruf kita pungut dengan susah payah untuk dijadikan kata dan dirangkai menjadi kalimat, diikat pada setiap babnya, haruskah kalimat demi kalimat diurai kembali? Seperti kisah seorang perempuan yang mengurai hasil tenunan  menjadi benang kembali? 


ADSN1919

 

 Kembali

Halaman
1

 © 2020-2023 - Rumahfiksi.com. All rights reserved

Tutup Iklan
www.domainesia.com