HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Sintia (Bagian Satu)

Imajinasi Tanpa Batas

Sintia (Bagian Satu)

 

Adzan Magrib terdengar sayup-sayup dari sebuah Mushola nan asri, mushola kecil yang berdekatan dengan ruang kerjaku. Tak terasa aku sudah duduk selama berjam-jam di tempat ini seorang diri, aku terdiam dan masih seperti tidak percaya dengan semua cerita yang telah diceritakan oleh salah seorang karyawanku siang tadi.

 

Di dalam ruang kerjaku, tanpa terasa airmataku mengalir lagi setelah tadi sempat berhenti setelah mendengarkan cerita tentang kehidupan rumah tangganya. Sambil menghela nafas, aku cepat-cepat menghapus airmata yang masih terus mengalir di kedua pipi-ku ini, sebelum mang Asep, seorang penjaga di kantor ini melihatku menangis seorang diri di tempat ini.

Tadi sekilas aku sempat melihat mang Asep menuju ke ruang kerjaku, mungkin untuk mengecek apakah aku sudah pulang atau belum, karena menjelang malam mang Asep masih melihat ruangan kerjaku masih terang.

 

Setelah selesai sholat Magrib, aku cepat-cepat meninggalkan kantorku dengan mengendarai kendaraan roda empat kesayanganku, kendaraan mungil warna hitam hadiah dari suamiku pas di hari jadi pernikahan kami beberapa waktu yang lalu.

 

Suamiku sering mendapat kerja di luar kota dalam jangka waktu lumayan lama. Di kota ini, aku tinggal bersama seorang perempuan yang sudah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri. Ia sering menghawatirkan jika aku pulang telat, apalagi jika suami sedang di luar kota. Hubungan kami ini bukan hubungan biasa, sebab walau kami tidak terlahir dari rahim yang sama tapi kedekatan emosional kami berdua sudah seperti saudari kembar adanya. Kami saling menjaga antara satu sama lain.

 

Sebelum sampai ke rumah, aku membeli martabak manis kesukaan Putri kecil kami. Setelah martabak berpindah tangan, aku kembali memacu mobilku di jalan raya menuju komplek perumahanku.

 

Sesampai di rumah, kakak sudah menunggu depan pintu, terlihat raut wajahnya sedikit cemas menunggu kepulanganku. Setelah makan martabak dan minum teh panas, aku segera mandi dan istirahat di kamar. Entah kenapa hari ini terasa lelah dan ingin menyendiri di dalam kamar, kakak memaklumi dan beliau juga menuju kamarnya bersama Putri kecil kami.

 

Setelah menelpon suami dan saling memberi kabar, aku merebahkan tubuh ini di atas pembaringan, terasa lelah dan pegal-pegal seluruh tubuhku ini. Aku baring terlentang sambil melihat langit-langit kamar yang bercat putih. Masih terasa sesak dengan semua cerita yang kudengar tadi dari mulut salah satu karyawanku itu.

 

*

Namanya Sintia, Ibu muda berusia sekitar 31 tahun dengan empat orang anak yang masih kecil-kecil. Pagi ini sambil meminum Teh hangat sebagai pembuka sarapan, entah kenapa aku kembali teringat dengan sosok muda itu ketika Ia melamar kerja ke kantorku dulu.

Saat itu, meski sekilas, aku bisa  melihat bahwa wanita muda yang tengah duduk di depanku itu adalah sososk wanita tangguh dan sopan. Aku mengetes dia, dengan menyuruhnya menunggu panggilan kerja dan dia menerimanya.

Setelah tiga bulan lamanya aku memanggilnya kembali untuk bekerja, saat itu terlihat senyuman manis di wajahnya. Benar dugaanku, Sintia mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Ia mau belajar dan bertanya. Dan selama ini hasil pekerjaannya  tidak pernah mengecewakan.

 

Sampai suatu hari, Ia ijin tidak masuk kerja, karena suaminya sakit lumayan parah. Semenjak itu, suaminya keluar masuk rumah sakit sudah tidak bisa dihitung oleh jari jemari.

 

Sintia sangat telaten mengurus suaminya yang sakit, karena untuk membuang air kecil dan membuang air besarpun suaminya di atas pembaringan. Di rumah tidak ada yang menunggu dan mengurusnya selain Sintia. Sebagai pimpinan saya harus bisa memaklumi kondisinya. Karena, suaminya tidak mau diurus oleh orang lain kecuali oleh istrinya.

 

Pernah diam-diam, Sintia menemuiku di kantor, ia menangis sambil memperlihatkan mukanya yang bengkak dengan tangan bewarna kemerahan hasil pukulan suaminya. Ternyata selain mengalami KDRT verbal,  Sintia juga mengalami KDRT fisik.

 

Aku dan teman-temannya, menganjurkan Sintia untuk melaporkan perbuatan suaminya itu ke polisi, tapi saat itu Sintia tidak mau, Ia lebih memilih pulang ke rumahnya sesaat setelah mendapat telepon dari suaminya. Sintia berpesan, jangan pernah mengatakan bahwa ia menemuiku, bila suaminya nanti meneleponku. Karena tadi sebelum pergi menemuiku ia bilang kepada suaminya bahwa Ia hendak pergi ke warung.

 

Bila di rumah, Sintia tidak bisa dihubungi, karena gawainya lebih sering dipegang oleh suaminya. Kami kadang sampai kesulitan untuk menghubunginya. 

 

Selanjutnya >>

 

Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Tutup Iklan
www.domainesia.com